Kesehatan Mental: Hak Asasi Manusia yang Universal dan Tak Terbantahkan

Niki Salamah

Kesehatan mental, seringkali terabaikan dan distigmatisasi, sesungguhnya merupakan hak asasi manusia yang universal dan tak terbantahkan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan "kesehatan mental," namun secara implisit mengakui hak ini melalui berbagai pasal yang menjamin hak atas kesehatan, martabat, dan kehidupan yang bermartabat. Pernyataan ini didukung oleh berbagai konvensi dan instrumen hukum internasional lainnya, serta diwujudkan dalam berbagai upaya advokasi dan program kesehatan mental di seluruh dunia. Namun, jalan menuju pengakuan dan realisasi hak ini masih panjang dan penuh tantangan, membutuhkan upaya kolektif dari pemerintah, organisasi kesehatan, masyarakat sipil, dan individu.

Dasar Hukum Internasional: Lebih dari Sekedar Implikasi

Meskipun DUHAM tidak secara eksplisit menyebut "kesehatan mental," pasal 25 DUHAM menyatakan bahwa setiap orang berhak atas standar hidup yang cukup, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan medis serta jaminan sosial. Interpretasi pasal ini, yang diperkuat oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR), mencakup hak atas kesehatan fisik dan mental. CESCR, dalam berbagai komentar umum, telah secara tegas menekankan hak atas kesehatan mental sebagai bagian integral dari hak atas kesehatan.

Selain DUHAM, Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) PBB tahun 2006 secara eksplisit mengakui hak penyandang disabilitas mental atas kesehatan, perawatan kesehatan, rehabilitasi, dan inklusi sosial. Konvensi ini menekankan pentingnya pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam penyediaan layanan kesehatan mental, dengan menekankan pada penghormatan terhadap otonomi, martabat, dan kesetaraan individu. CRPD juga mengutuk diskriminasi dan stigmatisasi yang sering dialami oleh penyandang disabilitas mental.

Lebih lanjut, berbagai instrumen regional juga mendukung pengakuan hak asasi manusia atas kesehatan mental. Misalnya, Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Orang (African Charter on Human and Peoples’ Rights) juga mengakui hak atas kesehatan, yang meliputi kesehatan mental. Keberadaan instrumen hukum ini menunjukkan komitmen internasional yang kuat untuk melindungi dan memajukan hak atas kesehatan mental. Namun, penting untuk diingat bahwa pengakuan hukum saja tidak cukup; implementasi yang efektif dan konsisten di lapangan masih menjadi tantangan besar.

BACA JUGA:   Pembesaran Rahim saat Hamil Muda

Stigma dan Diskriminasi: Hambatan Utama Realisasi Hak

Stigma dan diskriminasi merupakan hambatan utama dalam realisasi hak atas kesehatan mental. Stigma sosial yang melekat pada penyakit mental menyebabkan banyak orang enggan mencari bantuan, takut dijauhi, dikucilkan, atau bahkan dilabel sebagai "gila". Diskriminasi ini dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, termasuk pekerjaan, pendidikan, perumahan, dan akses terhadap layanan kesehatan. Akibatnya, banyak orang yang menderita penyakit mental tidak mendapatkan perawatan yang tepat dan hidup dalam isolasi dan penderitaan.

Diskriminasi juga dapat terjadi dalam sistem perawatan kesehatan itu sendiri. Orang dengan penyakit mental seringkali menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan yang berkualitas, menghadapi perawatan yang tidak manusiawi, dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia. Kurangnya sumber daya, pelatihan yang tidak memadai bagi tenaga kesehatan, dan kurangnya pemahaman tentang pendekatan yang berpusat pada pasien turut memperparah masalah ini. Mengatasi stigma dan diskriminasi memerlukan upaya multi-sektoral yang melibatkan pendidikan masyarakat, kampanye kesadaran publik, dan perubahan kebijakan yang melindungi hak-hak penyandang disabilitas mental.

Akses terhadap Perawatan Kesehatan Mental yang Berkualitas: Sebuah Kewajiban Negara

Negara memiliki kewajiban untuk memastikan akses terhadap perawatan kesehatan mental yang berkualitas, terjangkau, dan mudah diakses oleh semua orang, tanpa diskriminasi. Ini termasuk menyediakan layanan pencegahan, perawatan, rehabilitasi, dan dukungan sosial yang komprehensif. Layanan tersebut harus berbasis bukti, berpusat pada pasien, dan menghormati hak asasi manusia individu.

Akses yang mudah berarti layanan kesehatan mental harus tersedia secara geografis, finansial, dan budaya. Ini mencakup penyediaan layanan di berbagai tingkat perawatan, dari layanan primer hingga perawatan spesialis. Sistem rujukan yang efisien dan terintegrasi juga diperlukan untuk memastikan bahwa individu mendapatkan perawatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, pemerintah perlu menginvestasikan sumber daya yang cukup dalam pelatihan tenaga kesehatan mental, pengembangan infrastruktur, dan riset.

BACA JUGA:   Pelayanan Kesehatan Primer di Puskesmas Derwati: Aksesibilitas dan Jam Operasional

Peran Masyarakat Sipil dan Advokasi: Suara bagi yang Tak Terdengar

Masyarakat sipil memainkan peran penting dalam memajukan hak atas kesehatan mental. Organisasi non-pemerintah (NGO), kelompok advokasi, dan individu yang peduli terhadap isu kesehatan mental dapat berperan sebagai suara bagi mereka yang tak terdengar, mengadvokasi kebijakan yang inklusif dan melindungi hak asasi manusia penyandang disabilitas mental, serta memberikan dukungan dan advokasi bagi individu yang mengalami masalah kesehatan mental. Mereka juga dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, mengurangi stigma, dan mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang penyakit mental.

Pentingnya Pendekatan yang Berpusat pada Orang: Menghormati Otonomi dan Martabat

Pendekatan yang berpusat pada orang (person-centered approach) sangat penting dalam penyediaan layanan kesehatan mental. Hal ini berarti bahwa individu tersebut harus dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan mengenai perawatan mereka sendiri. Hak otonomi, martabat, dan hak untuk membuat pilihan yang terinformasi harus dihormati sepenuhnya. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya dukungan sosial, pemberdayaan, dan inklusi sosial. Perawatan yang berpusat pada orang memungkinkan individu untuk mengambil kendali atas kehidupan mereka dan untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya. Ini mencakup memberikan informasi yang akurat dan mudah dipahami mengenai kondisi mereka, pilihan pengobatan, dan hak-hak mereka.

Implementasi dan Monitoring: Menuju Realisasi Hak yang Efektif

Masih banyak tantangan yang perlu diatasi untuk mencapai realisasi hak atas kesehatan mental yang efektif. Pemerintah perlu mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang komprehensif, memastikan ketersediaan sumber daya yang cukup, dan memantau implementasi kebijakan tersebut secara berkala. Pemantauan yang efektif melibatkan pengumpulan data, evaluasi program, dan mekanisme pelaporan yang transparan dan akuntabel. Kolaborasi antar sektor dan keterlibatan masyarakat sipil juga penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan program kesehatan mental efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Lebih jauh lagi, mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa harus dibentuk untuk melindungi hak-hak individu yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks kesehatan mental. Perjalanan menuju realisasi hak atas kesehatan mental sebagai hak asasi manusia yang universal masih panjang dan membutuhkan komitmen berkelanjutan dari semua pemangku kepentingan.

Also Read

Bagikan:

Tags